Tuesday, May 4, 2021

TRANSFORMASI MERDEKA BELAJAR KI HAJAR DEWANTARA DAN MAS NADIEM


Oleh:

Tuwuh Handayani, S.Pd.SD.

Kepala SD Negeri Ngasem III Bojonegoro


Merdeka Belajar tahun 2021 merupakan program  transformasi pendidikan dan pemajuan kebudayaan. Program tersebut merupakan terobosan Kemendikbud dalam menyiapkan generasi yang adaptif di era industri 4.0. Sebelumnya, pada tahun 2020 Kemendikbud telah menghadirkan terobosan Merdeka Belajar melalui enam episode.  Saat ini, Mendikbud merencanakan delapan program prioritas Merdeka Belajar.  Delapan program tersebut adalah Kartu Indonesia Pintar, digitalisasi sekolah, prestasi dan penguatan karakter, guru penggerak, kurikulum baru, revitalisasi pendidikan vokasi, kampus merdeka, serta pemajuan kebudayaan dan bahasa. Harapan Mendikbud Ristek dalam sambutannya, dengan Merdeka Belajar, anak-anak Indonesia menjadi pelajar yang memegang teguh falsafah Pancasila, pelajar yang merdeka sepanjang hayatnya, dan mampu menyongsong masa depan dengan percaya diri.

Konsep Merdeka Belajar sebetulnya telah lahir dari pemikiran tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara.  Pemikiran dan gagasannya bersifat visioner. Beliau mampu memberikan gagasan-gagasan brilian untuk pendidikan  masa depan. Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara termasuk tokoh futuris.

Menurut Ki Hajar Dewantara, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Hal ini berarti, membawa manusia keluar dari belenggu kebodohan menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka dalam arti bebas berpikiran, berperasaan, dan bekerja demi pencapaian tujuan dalam perkembangan kodrati.

Ki Hajar Dewantara membedakan sistem pengajaran dan pendidikan. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek lahiriyah (kemiskinan dan kebodohan). Pendidikan memerdekakan manusia dari aspek batiniah (otonomi berpikir dan bermartabat).

Pilar Merdeka Belajar Ki Hajar Dewantara adalah Sistem Among. Pendidikan Sistem Among bersendikan pada dua hal, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan. Pendidikan harus bisa mengembalikan peserta didik menjadi manusia sesuai kodratnya, yaitu manusia yang mandiri, beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, cerdas, terampil, dan sehat jasmani serta rohani. Pendidikan juga harus mampu memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan pilihannya, sehingga menjadi pribadi yang demokratis dan bertanggung jawab. Esensinya selaras dengan tujuan pendidikan nasional sekarang ini.

Guru merupakan ujung tombak dalam mewujudkan program Merdeka Belajar. Sebagai frontliner, guru harus mampu menjadi fasilitator yang memberikan kebebasan peserta didiknya untuk mengembangkan potensi diri. Kebebasan yang dimaksud harus tetap pada koridor pendidikan dan pengajaran. Guru tidak hanya mampu mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), namun harus mampu mentranfer nilai-nilai karakter (transfer of value) juga. Seperti halnya konsep sistem Among  dengan metode asah, asih, dan asuh (care and dedication based on love). Dengan demikian, guru harus mampu mengajar ilmu pengetahuan, mendidik nilai-nilai karakter, dan melatih keterampilan dengan penuh kasih sayang.

Guru sebagai pendidik harus menjadi uswah atau central figure.   Hal ini sesuai prinsip ing ngarsa sung tuladha. Model yang dicontohkan guru akan membentuk peserta didik memiliki kebebasan yang  bertanggung jawab. Kebebasan yang dibatasi oleh nilai-nilai karakter. Sebagai pamong, guru harus memegang prinsip ing madya mangun karsa. Guru harus memberikan kebebasan kepada peserta didik agar dapat mengembangkan bakat dan minatnya untuk selalu berkarya. Sebagai motivator, guru harus berdiri di belakang,  memberi kebebasan dan dorongan  kepada pesrta didik  untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut tut wuri handayani.

Konsep merdeka belajar yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sinergis dengan program merdeka belajar yang dicetuskan oleh Kemendikbud. Esensi dari Merdeka Belajar pada hakikatnya adalah kebebasan berpikir yang ditujukan bagi guru dan peserta didik. Guru harus memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengeksploitasi pengetahuan seluas-luasnya. Strategi pembelajaran yang dirancang guru hendaknya merangsang daya nalar peserta didik. Daya nalar yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah sehari-hari. Hal tersebut akan menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang mandiri dan mampu menjawab tantangan kehidupan.  Pembelajaran yang merdeka juga diharapkan  akan membentuk generasi yang peduli terhadap lingkungan. Mengingat hal tersebut, maka guru adalah faktor utama pendukung terwujudnya program Merdeka Belajar. Guru sebagai agen pembaharuan (agent of change) harus dapat menjadi transformator dalam mewujudkan Merdeka Belajar.. Program Guru Penggerak merupakan salah satu terobosan Kemendikbud dalam mewujudkan program Merdeka Belajar.

          Salah satu kebijakan Merdeka Belajar yang digagas oleh Kemendikbud  tidak hanya menekankan aspek pengetahuan sebagai tujuan utama pendidikan. Namun, tercapainya keseimbangan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan bagi peserta didik. Transformasi asesmen  dilakukan melalui empat hal, yaitu survei literasi, survei numerasi, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Survei literasi  dimaksudkan agar peserta didik mampu bernalar, memahami, dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Survei numerasi berupa kemampuan pemahaman matematika. Survei ini dilakukan untuk melatih berfikir kritis dalam memecahkan masalah sehari-hari. Survei karakter  meliputi pengetahuan kebhinnekaan, gotong royong, dan kepedulian terhadap lingkungan. Melalui survei ini, diharapkan peserta didik mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Survei ini diharapkan menjadikan profil pelajar Pancasila  sesuai dengan visi dan misi Kemendikbud.   Pelajar pancasila nantinya akan menjadi perwujudan pelajar Indonesia yang mampu bersaing dalam kompetisi global bersendikan nilai-nilai pancasila. Survei lingkungan belajar berarti menggali informasi mengenai kualitas proses pembelajaran dan iklim sekolah yang menunjang pembelajaran. Survei ini bertujuan untuk melihat kualitas proses belajar mengajar serta suasana yang mendukung pembelajaran di sekolah.

            Program Merdeka Belajar yang akan kita wujudkan dijiwai oleh pemikiran tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Berbagai terobosan-terobosan Merdeka Belajar yang diluncurkan oleh Kemendikbud merupakan upaya tranformasi pendidikan. Transformasi pendidikan yang bertujuan agar bangsa Indonesia tidak jalan di tempat, namun dapat berubah menjadi lompatan-lompatan kemajuan. Harapan  ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan,  Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim dalam sambutannya pada hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2021.

            Esensi  Merdeka Belajar yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara dan Kemendikbud pada hakikatnya adalah sama. Keduanya sama-sama memberikan kebebasan kepada guru dan peserta didik untuk berpikir dan berinovasi. Guru bebas berinovasi  untuk mengembangkan pembelajaran yang mampu melatih berpikir kritis bagi peserta didiknya. Inovasi-inovasi tersebut tetap berlandaskan pada sifat kodrati yang dimiliki oleh peserta didik sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial. Inovasi yang tetap mengedepankan nilai-nilai karakter sebagai benteng dan filter dari pengaruh globalisasi di segala bidang. Peserta didik mendapat kebebasan untuk menentukan pilihannya, menunjukkan keberagamannya, dan mengekspresikan potensi diri, bakat, dan minatnya. Peserta didik mendapat penghargaan yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Peserta didik tidak hanya dihargai kemampuan intelektualnya. Namun, peserta didik mendapat penghargaan dari segi afeksi dan keterampilan yang dimilikinya. Untuk maksud tersebut, peserta didik akan menjadi generasi yang cerdas, berkarakter, mandiri,  kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Peserta didik tumbuh menjadi generasi yang kompetitif, adaptif, dan mampu menjawab tantangan dunia global. Indonesia harus dapat memanfaatkan bonus demografi tahun 2030 menuju generasi emas 2045. Oleh karena itu, marilah serentak bergerak mewujudkan merdeka belajar demi Indonesia yang maju.

 


Editor: Akang Azam

Monday, June 1, 2020

ESENSI HARI LAHIR PANCASILA DI TENGAH PANDEMI COVID 19






ESENSI HARI LAHIR PANCASILA DI TENGAH PANDEMI COVID 19

Oleh:
Tuwuh Handayani, S.Pd.SD.
Kepala SD Negeri Ngasem III Bojonegoro

     Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila atau lebih dikenal hari Pancasila. Peringatan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun lalu. Berdasarkan surat edaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Nomor 4 Tahun 2020, peringatan hari  Pancasila dilakukan melalui media elektronik, video conference, dan dalam jaringan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus corona. Namun, apa pun caranya tidak akan mengurangi esensi dari makna peringatan hari Pancasila.
        Peringatan hari Pancasila di tengah pandemi covid 19 memberikan makna tersendiri bagi bangsa Indonesia. Refleksi terhadap nilai-nilai Pancasila yang bukan sekadar norma saja. Namun, nilai-nilai tersebut hendaknya kita jadikan sebagai pegangan hidup sehari-hari. Pancasila harus menjadi jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Pentingnya kesadaran untuk tidak hanya mempelajari nilai-nilai Pancasila, tetapi juga mengamalkannya.
    Pancasila adalah kepribadian bangsa. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan karakteristik bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang memberikan kekuatan bangsa Indonesia dalam menghadapi pandemi covid 19. Nilai religiositas pada sila pertama mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa kepada Tuhan. Kekuatan spiritual ini akan memberikan energi positif pada diri kita. Kekuatan untuk selalu tabah dalam mennghadapi ujian. Semangat untuk selalu berjuang melawan segala tantangan.
      Nilai kemanusiaan yang terkandung pada sila kedua mengajarkan kepada kita untuk berjiwa sosial. Jiwa yang menggerakkan kita untuk selalu menolong orang lain. Pandemi covid ini memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa. Para pekerja  sektor informal harus terseok-seok. Pengusaha mikro, kecil, dan menengah banyak yang gulung tikar.  Hal ini berdampak pada banyaknya karyawan yang dirumahkan. Saat inilah, nilai-nilai kemanusiaan itu perlu diaktualisasikan.
         Nilai kemanusiaan pada sila kedua  akan menjiwai semangat persatuan. Rasa saling menghargai antarmanusia akan menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa, bersatu untuk melawan corona, tidak saling menyalahkan antarelemen bangsa. Semua pihak duduk bersama dalam menyelesaikan masalah. Kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat sangat menentukan keberhasilan bangsa dalam menghadapi pandemi corona.
         Nilai kemanusiaan dan rasa persatuan akan menjiwai semangat gotong-royong. Konsep gotong-royong merupakan inti sari kelima nilai Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika gotong-royong merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
       Peringatan hari lahirnya Pancasila ini hendaknya kita jadikan momentum bangkitnya kembali semangat gotong-royong di tengah pandemi covid 19. Hal ini selaras dengan tema peringatan hari Pancasila “Pancasila dalam Tindakan Melalui Gotong-Royong Menuju Indonesia Maju”.
        Semoga bangkitnya semangat gotong-royong ini, bangsa Indonesia akan terbebas dari bencana pandemi covid 19 dan kehidupan segera kembali normal.

Wednesday, May 6, 2020

BELAJAR DARI COVID 19





BELAJAR DARI COVID 19

Oleh;
Tuwuh Handayani, S.Pd.SD.
Kepala SD Negeri  Ngasem III Bojonegoro

“Belajar dari Covid” adalah tema yang diangkat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam peringatan hari Pendidikan Nasional tahun 2020. Pemerintah berharap kepada seluruh insan pendidikan untuk instropeksi diri. Pernyataan tersebut sesuai harapan Mendikbud Nadiem Makarim, “Inilah saatnya berinovasi. Inilah saatnya kita bereksperimen. Inilah saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari covid 19. Belajar dari covid 19 agar kita menjadi bangsa yang lebih baik di masa depan.”
            Pandemi Covid-19 menjadi musibah global yang sedang melanda dunia, termasuk Indonesia.  Covid-19  telah meruntuhkan sendi-sendi pertahanan negara. Salah satunya adalah bidang pendidikan. Pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk menghadapi ini. Sejak awal Maret, berbagai upaya dilakukan untuk tetap menjaga keberlangsungan pendidikan di tengah pandem Covid-19. Tentunya kebijakan-kebijakan tersebut  berorientasi pada pemutusan rantai penularan virus. Stay at home, study at home, work from home  dengan tetap mengedepankan social distancing dan physical distancing. Berbagai imbauan tersebut telah berpengaruh pada kebijakan pendidikan. 
Kebijakan-kebijakan tersebut menuntut kreativitas dan inovasi pelaku  pendidikan, khususnya  guru. Guru harus berupaya merancang berbagai strategi pembelajaran. Guru harus berupaya tetap mengajar tanpa bertatap muka dengan siswa. Pembelajaran daring menjadi pilihan. Berbagai aplikasi dipelajari dan digunakan untuk mendukung pembelajaran. Hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Guru yang sebelumnya gagap teknologi pun akhirnya berupaya keras mempelajarinya.
Pembelajaran daring  mungkin dianggap sangat efektif pada masa pandemi ini. Namun, lemahnya jaringan internet dapat menghambat proses pembelajaran. Belum lagi kebutuhan perangkat gawai beserta paket data internet. Hal ini sangat membebani orang tua siswa, khususnya yang kurang mampu. Selain itu, materi pembelajaran yang diterima siswa tidak akan maksimum. Banyak siswa yang mengeluh karena pembelajaran sebagian besar berorientasi pada penugasan. Ternyata, seberapa pun canggihnya teknologi tidak akan dapat menggantikan sosok seorang guru.
Tugas guru dalam mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge) mungkin dapat digantikan teknologi. Namun, tugas guru untuk mentransfer nilai karakter (tranfer of value) tidak akan dapat digantikan oleh apa pun. Gesture  guru di hadapan siswa merupakan katalisator dalam proses pembelajaran. Gesture tersebut dapat mempercepat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Apalagi jika siswa kelas rendah. Mereka sangat membutuhkan kehadiran guru. Guru hendaknya menyadari bahwa kehadirannya sangat dibutuhkan siswa. Oleh karena itu, kemauan untuk memperbaiki diri harus tumbuh dalam benak guru.
Fenomena lain dari kebijakan Belajar di Rumah adalah kesiapan orang tua dalam mendampingi anaknya. Banyak orang tua yang merasa kesulitan membimbing belajar anaknya.  Namun,  mereka juga harus berusaha menjadi guru bagi anaknya. Akhirnya, orang tua pun menyadari bahwa tugas guru sangatlah berat. Demikian juga dengan guru. Di masa pandemi ini, guru harus melakukan komunikasi yang intensif dengan orang tua. Hal ini tentunya untuk bersama-sama mengawal perkembangan belajar sang anak. Pandemi Covid-19 telah menyadarkan perluya kolaborasi antara guru dan orang tua dalam mengawal perkembangan pembelajarn sang anak. 
Pandemi covid 19 ini telah memberikan banyak pelajaran bagi insan pendidikan.  Pelajaran yang menuntut suatu perubahan. Apakah insan pendidikan siap dengan perubahan itu? Apakah guru siap dengan perubahan tersebut? Guru harus move on, jangan merasa nyaman di zona aman. Tingkatkan kompetensi, siapkan kecanggihan teknologi pada diri kita sebagai guru! Demikian juga dengan orang tua. Siap menjadi guru bagi anaknya. Siap menjadikan rumah sebagai tempat belajar anak. Sejatinya semua insan adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Belajar bisa di mana saja, dengan siapa saja, dan kapan saja.

                                                                                                                 Bojonegoro, 05 Me2020

Saturday, March 28, 2020

Literat Digital Berkarakter


LITERAT DIGITAL BERKARAKTER

            Dampak positif dan negatif penggunaan media digital (misal: gadget) bagi anak merupakan masalah yang dilematis. Banyak orang tua memberi batasan pada anaknya dalam menggunakan gadget. Namun, tidak sedikit pula dari mereka yang memberi kebebasan pada anaknya. Dalam hal ini, mereka mempunyai alasan sendiri-sendiri. Bagaimanakah seharusnya orang tua dan pendidik menyikapi hal tersebut?
Perkembangan media digital dengan segala fasilitasnya akan berdampak besar bagi penggunanya. Tidak bisa kita pungkiri, anak usia balita hingga mereka yang berusia manula menjadi penggemar media tersebut. Mengapa demikian? Hal ini karena, media digital menyediakan berbagai bentuk layanan untuk berbagai kebutuhan. Anak mulai usia 4 tahun sudah mampu mengoperasikan smarth phone atau android untuk bermain game. Mereka bahkan bisa menulis pesan lewat whatsapp meskipun harus mengeja. Anak-anak usia dini sudah mampu mengunduh aplikasi yang tersedia di smart phone atau android.  Mereka belajar secara otodidak. Kebiasaan yang sering mereka lihat dari orang-orang di sekitarnya bisa diserap oleh nalarnya. Demikian juga dengan kemampuan anak-anak pada umumnya dalam mengakses informasi melalui media digital. Kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber yang diakses melalui media digital tersebut  disebut literasi digital.
Literasi digital merupakan hal yang urgen bagi anak agar mereka dapat berpartisipasi di dunia modern. Oleh karena itu, generasi literat digital hendaknya dapat memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain dalam berbagai bentuk. Mereka dapat menciptakan, mengolaborasi, mengomunikasikan suatu pesan sesuai dengan aturan etika.   Mereka hendaknya paham kapan dan bagaimana teknologi dapat digunakan sehingga efektif mencapai tujuan. Hal ini diperlukan kesadaran dan berfikir kritis terhadap berbagai dampak positif dan negatif dari penggunaan teknologi tersebut. Dengan pola pikir yang kritis dan kreatif, mereka tidak akan mudah terprovokasi dan terpengaruh oleh informasi hoaks.  Dalam hal ini, maka diperlukan literat yang berkarakter sejak dini. Oleh karena itu, orang tua dan guru selaku pendidik  hendaknya bisa mengarahkan anak didik untuk menjadi literat yang berkarakter.
Bagaimanakah membentuk anak menjadi literat yang berkarakter sejak dini? Hal ini tentulah tidak  semudah membalik telapak tangan.  Guru dan orang tua hendaknya bisa  mengiternalisasikan nilai-nilai karakter pada anak melalui media digital tersebut. . Nilai-nilai karakter tersebut akan membentuk karakter atau mental pada diri anak. Carrol ( dalam Megawangi, 2012:10) mengatakan bahwa karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual. Karakter ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih. Sebaiknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Otot-otot karakter juga akan terbentuk melalui praktik-praktik latihan, yang akhirnya akan menjadi kebiasaan. Dari pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa  karakter dapat dibentuk melalui latihan dan pembimbingan.
Untuk membentuk literat digital yang berkarakter tersebut, maka pendidik sendiri harus memiliki kompetensi digital. Jika tidak, mereka bisa minta bimbingan pada orang yang lebih kompeten. Apa salahnya belajar? Karena guru dan orang tua hendaknya harus mengikuti perkembangan teknologi informasi. Bagaimana mereka dapat membentuk literat digital  yang berkarakter jika tidak memiliki kompetensi digital. Mereka tentunya harus memberi pendampingan dan pembimbingan pada anak didiknya. Hal tersebut sangat diperlukan khususnya  anak-anak pada usia dini dan  sekolah dasar. Pada usia tersebut merupakan usia emas sebagai  dasar dari pembentukan karakter.
Pembentukan literat digital yang berkarakter dapat dilakukan di sekolah maupun di rumah. Hal ini sejalan dengan pendapat Ki Hajar Dewantara tentang Tri Pusat Pendidikan. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab sekolah, keluarga, dan masyarakat. Di sekolah  berbagai cara bisa dilakukan pendidik untuk dapat mengajarkan nilai-nilai karakter melalui media digital. Cara yang  mereka gunakan tentunya disesuaikan dengan usia anak. Misalnya, anak usia dini (usia 3-7 tahun) senang cerita fantasi atau dongeng. Oleh karena itu, kita bisa mengunduh aplikasi video yang berisi dongeng-dongeng yang mendidik. Tentunya, pendidik harus mendampingi saat anak membukanya. Pendidik bisa memberi bimbingan terkait dongeng yang dilihat. Metode kuis, tanya jawab, atau permainan bisa kita variasikan dengan video tadi. Tentunya hal ini akan lebih menarik bagi anak. Apalagi jika pendidik memberikan reward  pada mereka.
Bagaimana dengan  anak-anak yang berusia 8- 12 tahun? Pada usia ini, anak-anak lebih suka bermain game dengan gadgetnya. Oleh karena itu, pendidik bisa mengarahkan anak-anak untuk belajar dengan game. Di sekolah, guru bisa mengaplikasikan game dengan pembelajaran. Apalagi jika guru bisa menciptakan game yang sehat. Maksudnya adalah game yang bisa menjadi media penanaman karakter pada anak. Anak-anak harus diarahkan agar tidak bermain game yang mengandung kekerasan. Karena hal ini bisa berdampak pada mental anak. Pada akhirnya akan terjadi bullying di antara mereka.
            Pembentukan literat yang berkarakter juga dapat dilakukan di lingkungan keluarga. Lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap karakter anak. Hal ini karena, sebagian besar waktu anak berada di lingkungan keluarga.  Orang tua diharapkan mampu secara bijak dan tepat mengarahkan dan mengembangkan budaya literasi digital di keluarga. Mereka harus mampu menjadi  teladan literasi dalam menggunakan media digital. Orang tua hendaknya memahami situs-situs apa yang aman digunakan anak. Mereka juga harus dapat mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial secara bijaksana. Orang tua hendaknya mampu mengarahkan anak agar   memaksimalkan pemanfaatan internet untuk mencari informasi dan pengetahuan dengan baik.
            Jadi, orang tua yang memberi kesempatan untuk mengakses media digital kepada anak tidaklah salah. Hal ini agar anak  siap dan dapat bersaing dalam percaturan di era modernisasi. Namun, orang tua dan pendidik hendaknya memberikan pendampingan dan pembimbingan. Sehingga,  anak akan  menjadi literat yang berkarakter.